KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, bahwa hanya dengan petunjuk dan hidayah-Nya
makalah ini dapat terselesaikan dan sampai dihadapan para pembaca yang
berbahagia. Semoga kiranya memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan
para pembaca pada umumnya.
Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai semakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa, yang diikuti dengan kecendrungan bentuk nilai budaya yang bersifat universal, tanpaknya studi tentang ijtihad ini sangat urgen sekali dalam kehidupan kita saat ini, baik dalam kalangan Islam sendiri maupun diluar islam pada umumnya.
Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai semakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa, yang diikuti dengan kecendrungan bentuk nilai budaya yang bersifat universal, tanpaknya studi tentang ijtihad ini sangat urgen sekali dalam kehidupan kita saat ini, baik dalam kalangan Islam sendiri maupun diluar islam pada umumnya.
Suatu kenyataan yang tak dapat
dipungkiri, bahwa nilai-nilai dan sistem budaya yang ada dilingkungan umat
Islam telah kehilangan daya dinamikanya dan menjadi mandek, sehingga tidak mampu
mewujudkan peran dan fungsinya sebagai rahmatan lil’alamin. Sebagaimana pepatah
megatakan tiada gading yang tak retak, maka makalah ini pun tentunya tiada
terbebas dari kekurangan dan kelemahan didalamnya. Namun penulis berusaha untuk
meminimalkannya. Untuk itu penulis minta maaf yang sebesar-besarnya dan
mengharap tegur sapa serta saran-saran penyempurnaan, agar kelemahandan
kekurangan yang ada tidak sampai mengurangi nilai dan manfaatnya bagi
perkembangan Islam pada umumnya, Amin.
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang
Ijtihad
merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah
SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in
serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu
apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi
pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai
dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan,
untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak
ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari
ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal,
fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas
dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk
menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes,
dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan
ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika
kehidupan yang semakin kompleks.
Mengingat pentingnya dalam syari’at Islam yang disampaikan
dalam Al-Qur’an dan Assunah, secara komprehensif karena memerlukan penelaahan
dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara
sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan secara tegas
oleh nas itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat penting. Kata ijtihad
terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud” bersungguh-sungguh
dalam berdo’a.
Dan ijtihad tidak membatasi bidang fikih saja dan banyak
para pendapat ulama mempersamakan ijtihad dengan qiyas. Adapun dasar hukum itu
sendiri adalah Al-Qur’an dan Assunah.
Maka dari itu karena banyak persoalan yang tidak terdapat di
dalam Al-quran dan sunnah para ulama/imam dituntut untuk keluar dari
permasalahan itu yaitu dengan cara melaksanakan ijtihad.
B. Pokok Permasalahan
Dari
latar belakang dapat di rumuskan beberapa masalah yaitu:
A. Pengertian ijtihad
B. Dasar Hukum
C. Kedudukan Ijtihat
D. Fungsi Ijtihad
E. Objek Ijtihat
F. Macam-Macam Ijtihat
G. Syarat-Syarat Ijtihat
H. Tingkatan Ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ja-ha-da yang
berarti sungguh-sungguh, rajin, giat, atau mencurahkan kemampuannya daya upaya
atau usaha keras, berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu
Menurut istilah ijtihad adalah suatu upaya pemikiran
yang sungguh-sungguh untuk menegaskan prasangka kuat yang didasarkan suatu
petunjuk yang berlaku atau penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan suatu
yang terdekat dengan kitabullah dan sunnah Rosululloh SAW[1].
Beberapa
Definisi Ijtihad Makna Umum
Berkenaan dengan definisi ijtihad makna umum terjadi
perbedaan di antara ulama baik Ahli Sunah maupun Syiah. Setiap ulama memiliki
penafsiran tersendiri. Namun perbedaan dalam pendefinisian ini tidak ditangkap
sebagai perbedaan pada esensi ijtihad makna umum itu sendiri. Esensi ijtihad
diterima oleh seluruh Ulama. Perbedaan yang ada lebih muncul pada tambahan
definisi yang biasanya muncul dari hal lain bukan ijtihad itu sendiri.
Sebagaimana perkembangan yang terjadi pada ruang lingkup ijtihad. Ada yang menambahkan
kata zhan (persangkaan) atau ilmu (keyakinan), di samping ada juga yang
menambahkan kata fakih pada definisi bahkan ada yang menambahkan kata malakah
(karakter tetap).
Sementara Mujtaba Tehrani pada catatan kaki buku Rasail
milik Syaikh Anshari mendefinisikan ijtihad sebagai berikut: “Definisi yang
paling dekat untuk memerikan kata ijtihad adalah definisi ma’ruf yang berbunyi
ijtihad adalah malakah atau sebuah kemampuan yang dengan itu seseorang mampu
untuk menyimpulkan sebuah hukum syar’i”.
B.
Dasar Hukum Ijtihad
Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad.
Antara lain :
1. Surat An-Nisa’ ayat 59 :
Artinya : Hai orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya[2].
Perintah
mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-qur’an dan sunah, menurut Ali
Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan
mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam
membahas kandungan ayat atau hadits yang baragkali tidak mudah untuk dijangkau
begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang
disimpulkan dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah[3].
C. Kedudukan
Ijtihad
Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad pada
semua bidang hukum dan syari’ah, asalkan dia mempunyai kriteria dan syarat
sebagai seorang mujtahid. Para ulama’ membagi hukum untuk melakukan ijtihad
dengan tiga bagian, yaitu[4]
:
1. Wajib ain, yaitu bagi mereka yang
dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi, dan ia
khawatir peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian hukumnya, atau dia sendiri
mengalami peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2. Wajib Kifayah, yaitu bagi mereka
yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan
lenyap peristiwa itu, sedang selain dia masih terdapat mujtahid-mujtahis
lainnya. Maka apabila kesemua mujtiahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad,
maka mereka berdosa semua.
3. Sunnah, yaitu apabila melakukan
ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi. Abu Bakar
al-Baqilani menyatakan bahwa setiap ijtihad harus diorientasikan kepada tajdid
(pembaruan) karena setiap periode memiliki ciri sendiri sehingga menentukan
perubahan hukum. Sedang Abd. Al-Syakur dalam “Muslimat al-Tsubut” mengharuskan
ijtihad selalu mengacu pada perubahan dan pembaruan yang bertujuan mencari
kebenaran[5].
4. “Sesungguhnya Allah SWT. mengutus
pada umat disetiap ujung periode (seratus tahun)” seoarang yang membarui agama
(HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah) Lebih lanjut, urgensi ijtihad dapat dilihat
dari fungsi ijtihad itu sendiri yang terbagi atas tiga macam, yaitu :
a. Fungsi al-ruju’ atau al-i’dah
(kembali), yaitu mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada sumber pokok, yakni
Al-Qur’an dan sunnah Shahihah dari segala interpretasi yang dimugkinkan kurang
relevan.
b. Fungsi Al-Ihya’ (kehidupan), yaitu
menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar
mampu menjawab dan mengahadapi tantangan zaman, sehingga Islam mampu sebagai
furqon, hudan, dan rahmatil lil’alamin.
c. Fungsi al-Inabah (pembenahan), yakni
membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah diijtihadi oleh ulama’ terdahulu dan
dimungkinkan adanya keslahan menurut konteks zaman, keadaan, dan tempat yang
kini kita hadapi. Untuk mengembangkan lembaga ijtihad, maka perlu upaya dan
langkah-langkah khusus, misalnya dengan memasyarakatkan pendapat bahwa pintu
ijtihad masih terbuka, serta menggalakkan bahwa orang Islam tidak harus terikat
satu madzhab dan mengembangkan toleransi dalam bermadzhab dengan cara mencari
pendapat yang paling sesuai dengan kemaslahatan.
D.
Fungsi Ijtihad
Imam
Syafi’i ra. (150 H – 204 H), penyusun pertama Ushul Fiqh, dalam bukunya
Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesmepurnaan Al-Qur’an menegasakan : ”Maka
tidak terjadi suatu peristiwapun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali
dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk tentang hukumnya”.
Pernyataan
Imam Syafi’i diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad di
samping Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji
kebenaran riwayat hadits yang tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir seprti
hadits ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak
tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan
ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperi dengan qiyas, istihsan, dan maslahah
mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip
hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat
dan hadits-hadits hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab
berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya[6].
E. Objek Ijtihad
Menurut al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’
yang tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari pendapatnya itu, diketahui ada
permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad. Dengan demikian, syariat
Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
1. Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnah
2. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para ulama. Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain[7].
1. Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnah
2. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para ulama. Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain[7].
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi
lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya
dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain. Sedangkan
terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan
ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal,
seperti qiyas, istihsan, mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan
ini banyak diperdebatkan dikalangan para ulama.
F.
Macam–Macam Ijtihad
Di tinjau dari segi subyek yang melakukan ijtihad maka
terbagi yuitu
1. Ijtihad fardi
yaitu ijtihad yang di
lakukan oleh seorang alasannya Rosulullah dapat membenarkan dan dapat menerima
jawaban muadz bin jabalsaat di tanya Rosul jika di hadapkan kepadanya suatu
permasalahan, dan tidak ditemukan dalam Al-quran dan hadits. Muadz menjawab (
aku akan berijtihad dengan pikiranku, dan aku tidak akan meningalkannya).
2. Ijtihad jama’i
Yaitu ijtihad yang di lakukan oleh sekelompok orang. Dalam
ijtihad ini tentu tidak hanya ahli hukum islam yang harus hadir tapi juga
seorang yang ahli dalam bidang yang terkait dengan hukum yang akan di
ijtihadkan. Di sini adanya persetujuan mujtahid terhadap masalah alasannya
ialah jawaban Rosululloh terhadap ali bin abi thalib yang bertanya apa yang
harus dilakukan dan dijadikan dasar jika perkara tidak ditemukan dalam Al-quran
dan hadits…? Maka Rosululloh menyruh agar di musyawarahkan dengan ahlinya[8].
G. Syarat-Syarat Ijtihad
Syarat-syarat umum yang disepakati oleh para
ulama' menurut Dr. Yusuf Qordhowi sebagai berikut:
a)
Harus mengetahui Al-Qur'an dan ulumul Qur'an:
- Mengetahui
sebab-sebab turunnya ayat
- Mengetahui
sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-qur'an.
- Mengetahui
sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan
mutasyabih, dan sebagainya
- Menguasai
ilmu tafsir, pengetahuan tentang pemahaman al-qur'an.
b) Mengetahui Assunah dan
ilmu Hadits
c)
Mengetahui bahasa arab
d)
Mengethui tema-tema yang sudah merupakan ijma'
e)
Mengetahui usul fiqih
f)
Mengetahui maksud-maksud sejarah
g)
Mengenal manusia dan alam sekitarnya
h)
Mempunyai sifat adil dan taqwa
syarat tambahan :
a)
Mengetahui ilmu ushuluddin
b)
Mengetahui ilmu mantiq
c)
Mengetahui cabang-cabang fiqih[9]
H.
Tingkatan Ijtihad
Abu Zahra
membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu antara lain :
1. Mujtahid Mustaqil (independen) inilah
para mujtahid yang mengeluarkan hukum
dari al-quran dan sunnah. , oleh Abu Zahra disebut juga dengan sebagai
al-Mujtahid fil al-Syar’I, atau disebut juga dengan Mujtahid Mutlaq sebagai
contoh ialah Nabi mengutus muazd ke yaman menjadi hakim dan Rasul bertanya
kepada muazd jika dihadapkan suatu masalah dengan apa kamu menyelesaikan muazd
menjawab dengan kitabullah jika tidak ada dengan sunnah Rasullullah jika tidak
terdapat aku akan mengunakan ijtihad dan aku tidak akan meninggalkannya.
2. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid
yang dalam masalah Ushul Fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu
merumuskannya, namun tetap berpegang kepada Ushul Fiqh salah seorang mujtahid
mustaqil, seperti berpegang kepada Ushul Fiqh Abu Hanifah, akan tetapi, mereka
bebas dalam berijtihad, tanpa terikat dengan salah seorang mujtahid mustaqil.
3. Mujtahid fil al-Mazhab, yaitu
tingkat mujtahid yangdalam Ushul Fiqh dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid
karena mereka mereka berijtihad meng-istinbat-kan hukum pada permasalahan yang
tidak ditemukan dalam buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi
panutannya.meraka tidak lagi melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang telah
ditegaskan hukumnya dalam buku-buku fikih mazhabnya.
4. Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu
mujtahid yang kegiatannya buka meng-istinbat-kan hukum tetapi terbatas
memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk
mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang
ada, dengan menggunakan metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama
sebelumnya. Dengan metode itu, ia sanggup melaporkan dimana kelemahan dalil yang
dipakai dan diman keunggulannya[10].
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut istilah ijtihad adalah suatu upaya
pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan prasangka kuat yang didasarkan
suatu petunjuk yang berlaku atau penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan
suatu yang terdekat dengan kitabullah dan sunnah Rosululloh SAW.
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat
hadits yang tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir seprti hadits ahad, atau
sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya
sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi
untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Sunnah seperi dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yang disebut
terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam al-Qur’an dan
Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang
sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan ang tidak
terbatas jumlahnya.
Menurut al-Ghazali, objek ijtihad
adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari
pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek
ijtihad.
Macam-macam Ijtihad
1.
Ijtihad
fardi
yaitu
ijtihad yang di lakukan oleh seorang alasannya Rosulullah dapat membenarkan dan
dapat menerima jawaban muadz bin jabalsaat di tanya Rosul jika di hadapkan
kepadanya suatu permasalahan, dan tidak ditemukan dalam Al-quran dan hadits.
2.
Ijtihad
jama’i
Yaitu
ijtihad yang di lakukan oleh sekelompok orang. Dalam ijtihad ini tentu tidak
hanya ahli hukum islam yang harus hadir tapi juga seorang yang ahli dalam
bidang yang terkait dengan hukum yang akan di ijtihadkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Mukti, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad
Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
Dzajuli,
Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2000
Syafe’i,
Rachmat dalam Ilmu Ushul Fiqih
Zuhri,
Saifudin, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
[1]
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, cv pustaka setia, Bandung. 2007. Hal 97
[2]
Dapertemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahan,jakarta : proyek penggandaan kitab
suci al-quran, jakarta, 1984
[3]
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir,yogyakarta, 1994, hal 234
[4]
Djazuli, Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo persada, Jakarta. 2000. Hal
107
[5]
Ibid hal 107-108
[6]
Djazuli, Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo persada, Jakarta. 2000.
[7]
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, cv pustaka setia, Bandung. 2007. hal 106-107
[8]
Ali,
Mukti, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad
Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
[9]
Djazuli, Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo persada, Jakarta. 2000. Hal
97-98
[10]
Djazuli, Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo persada, Jakarta. 2000, hal 99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar