Sabtu, 17 Mei 2014

ijtihad



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, bahwa hanya dengan petunjuk dan hidayah-Nya makalah ini dapat terselesaikan dan sampai dihadapan para pembaca yang berbahagia. Semoga kiranya memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Pada era globalisasi dan informasi saat ini, yang ditandai semakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa, yang diikuti dengan kecendrungan bentuk nilai budaya yang bersifat universal, tanpaknya studi tentang ijtihad ini sangat urgen sekali dalam kehidupan kita saat ini, baik dalam kalangan Islam sendiri maupun diluar islam pada umumnya.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri, bahwa nilai-nilai dan sistem budaya yang ada dilingkungan umat Islam telah kehilangan daya dinamikanya dan menjadi mandek, sehingga tidak mampu mewujudkan peran dan fungsinya sebagai rahmatan lil’alamin. Sebagaimana pepatah megatakan tiada gading yang tak retak, maka makalah ini pun tentunya tiada terbebas dari kekurangan dan kelemahan didalamnya. Namun penulis berusaha untuk meminimalkannya. Untuk itu penulis minta maaf yang sebesar-besarnya dan mengharap tegur sapa serta saran-saran penyempurnaan, agar kelemahandan kekurangan yang ada tidak sampai mengurangi nilai dan manfaatnya bagi perkembangan Islam pada umumnya, Amin.






BAB I
P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
Mengingat pentingnya dalam syari’at Islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Assunah, secara komprehensif karena memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan secara tegas oleh nas itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat penting. Kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud” bersungguh-sungguh dalam berdo’a.
Dan ijtihad tidak membatasi bidang fikih saja dan banyak para pendapat ulama mempersamakan ijtihad dengan qiyas. Adapun dasar hukum itu sendiri adalah Al-Qur’an dan Assunah.
Maka dari itu karena banyak persoalan yang tidak terdapat di dalam Al-quran dan sunnah para ulama/imam dituntut untuk keluar dari permasalahan itu yaitu dengan cara melaksanakan ijtihad.
B. Pokok Permasalahan  
Dari latar belakang dapat di rumuskan beberapa masalah yaitu:
A.    Pengertian ijtihad
B.     Dasar Hukum
C.     Kedudukan Ijtihat
D.    Fungsi Ijtihad
E.     Objek Ijtihat
F.      Macam-Macam Ijtihat
G.    Syarat-Syarat Ijtihat
H.    Tingkatan Ijtihad









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ja-ha-da yang berarti sungguh-sungguh, rajin, giat, atau mencurahkan kemampuannya daya upaya atau usaha keras, berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu
Menurut istilah ijtihad adalah suatu upaya pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan prasangka kuat yang didasarkan suatu petunjuk yang berlaku atau penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan suatu yang terdekat dengan kitabullah dan sunnah Rosululloh SAW[1].
Beberapa Definisi Ijtihad Makna Umum
Berkenaan dengan definisi ijtihad makna umum terjadi perbedaan di antara ulama baik Ahli Sunah maupun Syiah. Setiap ulama memiliki penafsiran tersendiri. Namun perbedaan dalam pendefinisian ini tidak ditangkap sebagai perbedaan pada esensi ijtihad makna umum itu sendiri. Esensi ijtihad diterima oleh seluruh Ulama. Perbedaan yang ada lebih muncul pada tambahan definisi yang biasanya muncul dari hal lain bukan ijtihad itu sendiri. Sebagaimana perkembangan yang terjadi pada ruang lingkup ijtihad. Ada yang menambahkan kata zhan (persangkaan) atau ilmu (keyakinan), di samping ada juga yang menambahkan kata fakih pada definisi bahkan ada yang menambahkan kata malakah (karakter tetap).
Sementara Mujtaba Tehrani pada catatan kaki buku Rasail milik Syaikh Anshari mendefinisikan ijtihad sebagai berikut: “Definisi yang paling dekat untuk memerikan kata ijtihad adalah definisi ma’ruf yang berbunyi ijtihad adalah malakah atau sebuah kemampuan yang dengan itu seseorang mampu untuk menyimpulkan sebuah hukum syar’i”.

B.    Dasar Hukum Ijtihad

Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad. Antara lain :

1.      Surat An-Nisa’ ayat 59 :

Artinya : Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya[2].
      Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-qur’an dan sunah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadits yang baragkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah[3].








C. Kedudukan Ijtihad

Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad pada semua bidang hukum dan syari’ah, asalkan dia mempunyai kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid. Para ulama’ membagi hukum untuk melakukan ijtihad dengan tiga bagian, yaitu[4] :
1.      Wajib ain, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa   yang terjadi, dan ia khawatir peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian hukumnya, atau dia sendiri mengalami peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2.      Wajib Kifayah, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa itu, sedang selain dia masih terdapat mujtahid-mujtahis lainnya. Maka apabila kesemua mujtiahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad, maka mereka berdosa semua.
3.      Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi. Abu Bakar al-Baqilani menyatakan bahwa setiap ijtihad harus diorientasikan kepada tajdid (pembaruan) karena setiap periode memiliki ciri sendiri sehingga menentukan perubahan hukum. Sedang Abd. Al-Syakur dalam “Muslimat al-Tsubut” mengharuskan ijtihad selalu mengacu pada perubahan dan pembaruan yang bertujuan mencari kebenaran[5].
4.      “Sesungguhnya Allah SWT. mengutus pada umat disetiap ujung periode (seratus tahun)” seoarang yang membarui agama (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah) Lebih lanjut, urgensi ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri yang terbagi atas tiga macam, yaitu :
a.       Fungsi al-ruju’ atau al-i’dah (kembali), yaitu mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada sumber pokok, yakni Al-Qur’an dan sunnah Shahihah dari segala interpretasi yang dimugkinkan kurang relevan.
b.      Fungsi Al-Ihya’ (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab dan mengahadapi tantangan zaman, sehingga Islam mampu sebagai furqon, hudan, dan rahmatil lil’alamin.
c.      Fungsi al-Inabah (pembenahan), yakni membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah diijtihadi oleh ulama’ terdahulu dan dimungkinkan adanya keslahan menurut konteks zaman, keadaan, dan tempat yang kini kita hadapi. Untuk mengembangkan lembaga ijtihad, maka perlu upaya dan langkah-langkah khusus, misalnya dengan memasyarakatkan pendapat bahwa pintu ijtihad masih terbuka, serta menggalakkan bahwa orang Islam tidak harus terikat satu madzhab dan mengembangkan toleransi dalam bermadzhab dengan cara mencari pendapat yang paling sesuai dengan kemaslahatan.

D.    Fungsi Ijtihad

Imam Syafi’i ra. (150 H – 204 H), penyusun pertama Ushul Fiqh, dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesmepurnaan Al-Qur’an menegasakan : ”Maka tidak terjadi suatu peristiwapun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk tentang hukumnya”.
      Pernyataan Imam Syafi’i diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad di samping Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadits yang tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir seprti hadits ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperi dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya[6].
E. Objek Ijtihad
Menurut al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
            1. Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan as sunnah
            2.  Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para ulama. Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain[7].
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain. Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak diperdebatkan dikalangan para ulama.
F.     Macam–Macam Ijtihad
Di tinjau dari segi subyek yang melakukan ijtihad maka terbagi yuitu
1.      Ijtihad fardi
 yaitu ijtihad yang di lakukan oleh seorang alasannya Rosulullah dapat membenarkan dan dapat menerima jawaban muadz bin jabalsaat di tanya Rosul jika di hadapkan kepadanya suatu permasalahan, dan tidak ditemukan dalam Al-quran dan hadits. Muadz menjawab ( aku akan berijtihad dengan pikiranku, dan aku tidak akan meningalkannya).
2.      Ijtihad jama’i
Yaitu ijtihad yang di lakukan oleh sekelompok orang. Dalam ijtihad ini tentu tidak hanya ahli hukum islam yang harus hadir tapi juga seorang yang ahli dalam bidang yang terkait dengan hukum yang akan di ijtihadkan. Di sini adanya persetujuan mujtahid terhadap masalah alasannya ialah jawaban Rosululloh terhadap ali bin abi thalib yang bertanya apa yang harus dilakukan dan dijadikan dasar jika perkara tidak ditemukan dalam Al-quran dan hadits…? Maka Rosululloh menyruh agar di musyawarahkan dengan ahlinya[8].
G.    Syarat-Syarat Ijtihad
Syarat-syarat umum yang disepakati oleh para ulama' menurut Dr. Yusuf Qordhowi sebagai berikut:
a)      Harus mengetahui Al-Qur'an dan ulumul Qur'an:
  1. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat
  2. Mengetahui sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-qur'an.
  3. Mengetahui sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan sebagainya
  4. Menguasai ilmu tafsir, pengetahuan tentang pemahaman al-qur'an.
b)      Mengetahui Assunah dan ilmu Hadits
c)      Mengetahui bahasa arab
d)     Mengethui tema-tema yang sudah merupakan ijma'
e)      Mengetahui usul fiqih
f)       Mengetahui maksud-maksud sejarah
g)      Mengenal manusia dan alam sekitarnya
h)      Mempunyai sifat adil dan taqwa
syarat tambahan :
a)      Mengetahui ilmu ushuluddin
b)      Mengetahui ilmu mantiq
c)      Mengetahui cabang-cabang fiqih[9]


H.    Tingkatan Ijtihad

Abu Zahra membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu antara lain :
1.      Mujtahid Mustaqil (independen) inilah para mujtahid  yang mengeluarkan hukum dari al-quran dan sunnah. , oleh Abu Zahra disebut juga dengan sebagai al-Mujtahid fil al-Syar’I, atau disebut juga dengan Mujtahid Mutlaq sebagai contoh ialah Nabi mengutus muazd ke yaman menjadi hakim dan Rasul bertanya kepada muazd jika dihadapkan suatu masalah dengan apa kamu menyelesaikan muazd menjawab dengan kitabullah jika tidak ada dengan sunnah Rasullullah jika tidak terdapat aku akan mengunakan ijtihad dan aku tidak akan meninggalkannya.
2.      Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah Ushul Fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada Ushul Fiqh salah seorang mujtahid mustaqil, seperti berpegang kepada Ushul Fiqh Abu Hanifah, akan tetapi, mereka bebas dalam berijtihad, tanpa terikat dengan salah seorang mujtahid mustaqil.
3.      Mujtahid fil al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahid yangdalam Ushul Fiqh dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid karena mereka mereka berijtihad meng-istinbat-kan hukum pada permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya.meraka tidak lagi melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang telah ditegaskan hukumnya dalam buku-buku fikih mazhabnya.
4.      Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya buka meng-istinbat-kan hukum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada, dengan menggunakan metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya. Dengan metode itu, ia sanggup melaporkan dimana kelemahan dalil yang dipakai dan diman keunggulannya[10].



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut istilah ijtihad adalah suatu upaya pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan prasangka kuat yang didasarkan suatu petunjuk yang berlaku atau penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan suatu yang terdekat dengan kitabullah dan sunnah Rosululloh SAW.
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadits yang tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir seprti hadits ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperi dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan ang tidak terbatas jumlahnya.
Menurut al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’i. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
Macam-macam Ijtihad
1.      Ijtihad fardi
yaitu ijtihad yang di lakukan oleh seorang alasannya Rosulullah dapat membenarkan dan dapat menerima jawaban muadz bin jabalsaat di tanya Rosul jika di hadapkan kepadanya suatu permasalahan, dan tidak ditemukan dalam Al-quran dan hadits.
2.      Ijtihad jama’i
Yaitu ijtihad yang di lakukan oleh sekelompok orang. Dalam ijtihad ini tentu tidak hanya ahli hukum islam yang harus hadir tapi juga seorang yang ahli dalam bidang yang terkait dengan hukum yang akan di ijtihadkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990
Dzajuli, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2000
Syafe’i, Rachmat dalam Ilmu Ushul Fiqih
Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqh: Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009




[1] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, cv pustaka setia, Bandung. 2007. Hal 97
[2] Dapertemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahan,jakarta : proyek penggandaan kitab suci al-quran, jakarta, 1984
[3] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir,yogyakarta, 1994, hal 234
[4] Djazuli, Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo persada, Jakarta. 2000. Hal 107
[5] Ibid hal 107-108
[6] Djazuli, Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo persada, Jakarta. 2000.
[7] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, cv pustaka setia, Bandung. 2007. hal 106-107
[8] Ali, Mukti, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990

[9] Djazuli, Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo persada, Jakarta. 2000. Hal 97-98
[10] Djazuli, Metodologi Hukum Islam, PT RajaGrafindo persada, Jakarta. 2000, hal 99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar