BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan konsumen merupakan
bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis
yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan
produsen. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen pada
posisi yang lemah. Kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen dapat timbul
sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen dengan
konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
oleh produsen.
Perjanjian-perjanjian yang
dilakukan antara para pihak tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam arti
masing-masing pihak puas, karena kadang-kadang pihak penerima tidak menerima
barang atau jasa sesuai dengan harapannya. Wanprestasi salah satu pihak dalam
perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat yang tercantum dalam
perjanjian. Disamping wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi di luar hubungan
perjanjian, yaitu jika perbuatan melanggar hukum, yang dapat berupa adanya
cacat pada barang atau jasa yang mengakibatkan kerugian pada konsumen, baik itu
karena rusaknya atau musnahnya barang itu sendiri, maupun kerusakan atau
musnahnya barang akibat cacat pada barang itu.
Hukum perlindungan konsumen
dewasa ini mendapat cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna
mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen saja yang
mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk
mendapat perlindungan, masing-masing ada hak dan kewajiban Pemerintah berperan
mangatur, mengawasi, dan mengontrol, sehingga tercipta sistem yang kondusif
berkaitan satu dengan yang lain dengan demikian tujuan menyejahterakan
masyarakat secara luas dapat tercapai.
Di Indonesia, gerakan perlindungan
konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika Serikat. YLKI yang secara
populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada
kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini termasuk cukup
responsive terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan
Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen.
Perlindungan konsumen harus
mendapat perhatian yang lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian
pembangunan ekonomi Indonesia, di mana ekonomi Indonesia juga telah berkait
dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat membawa
implikasi negative bagi perlindungan konsumen.
Pada
masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk ekspor-impor dan penanaman
modal. Kini transaksi menjadi beraneka ragam dan rumit, seperti kontrak
pembuatan barang, waralaba, imbal beli, turnkey project, alih teknologi,
aliansi strategis internasional, aktivitas finansial, dan lain-lain.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian aspek product liability ?
2. Lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat ?
3. Penyelesaian sengketa ?
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun
tujuan dalam makalah ini adalah :
1. Utuk mengetahui Pengertian aspek
product liability
2. Untuk mengetahui Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat
3. untuk mengetahui Penyelesaian
sengketa
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat menambah ilmu pengetahuan
dalam bidang hukum bisnis khususnya tentang perlindungan konsumen.
b. Dapat memberikan masukan dalam
bidang hukum bisnis kepada masyarakat, pemerintah dan aparat penegak hukum
tentang perlindungan konsumen.
2. Manfaat Praktis
Dapat dijadikan pedoman dan bahan rujukan bagi
peneliti lain, masyarakat ataupun pihak lainnya yang juga membahas tentang
perlindungan konsumen.
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Pustaka
Konsumen
Istilah konsumen berasal dari
alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument
(Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi
mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen)
setiap orang yang menggunakan barang[1].
Pengertian konsumen dalam
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu[2]
“ Konsumen adalah pemakai
barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri
atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.”
Sedangkan konsumen menurut
naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, konsumen adalah setiap
orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk
diperdagangkan[3].
Sebagai akhir dari usaha
pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah dengan lahirnya UUPK,
yang di dalamnya dikemukakan pengertian konsumen, sebagai berikut:
“Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan[4].”
Produsen
Istilah produsen berasal dari
bahasa Belanda yakni producent, dalam bahasa inggris, producer yang artinya
adalah penghasil. Pengertian yang luas mengenai produsen terdapat dalam UUPK,
namun istilah produsen sebagai lawan dari isrilah konsumen, melainkan pelaku
usaha. Pengertian pelaku usaha dalam UUPK adalah sebagai berikut:
“Pelaku Usaha adalah setiap
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk bdan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi[5].”
Sementara Pasal 1 butir 5 memberikan batasan yang hampir tidak ada perbedaan berarti dari
pengertian yang dikandung UUPK. Adapun pengertian tersebut dapat dilihat
seperti berikut:
“Pelaku usaha adalah setiap
orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”
Pasal
3 ayat (2) Directive menyebutkan bahwa: siapa pun
yang mengimpor suatu produk ke lingkungan
adalah produsen. Ketentuan ini sengaja dicantumkan untuk melindungi
konsumen dari kemungkinan harus menggugat produsen asing (yang pusat
kegiatannya) di luar lingkungan[6].
BAB
III PENJELASAN
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Product Liability
Istilah dan defenisi product liability di kalangan para pakar dan
sejumlah peraturan diartikan secara berbeda-beda. Product liability sering diistilahkan dengan
tanggung gugat produk, tanggung jawab produk, atau tanggung jawab produsen.
Mengenai pengertiannya, para pakar memberikan penekanan dan lingkup yang
bervariasi sebagaimana dapat dilihat dalam berbagai definisi di bawah ini.
definisi product liability sebagai berikut: tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang
yang dihasilkannya, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai
(konsumen) atau keamanan produk.
sebagai tanggung jawab produsen untuk produk
yang dibawanya ke dalam peradaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang
melekat pada produk tersebut. Dalam produk sebagai barang, baik yang bergerak
maupun tidak bergerak[7].
memperluas cakupan dari yang disebut dengan
pengertiannya sebagai berikut:
“product liability adalah
tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu
produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang menghasilkan
suatu produk atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan
produk tersebut.”
Tujuan utama dari dunia hukum memperkenalkan product liabilityadalah:
a. Memberikan perlindungan kepada konsumen
b. Agar terdapat pembebanan risiko yang adil antara produsen dan
konsumen.
Dari Kewajiban kepada Tanggungjawab
a. Kewajiban karena UU
Berbicara tentang tanggung
jawab pelaku usaha, maka terlabih dahulu harus dibicarakan mengenai
kewajibannya. Dari kewajiban (duty, obligation) akan lahir tanggung
jawab. Tanggung jawab timbul karena seseorang atau suatu pihak mempunyai suatu
kewajiban, termasuk kewajiban karena undang-undang dan hukum[8].
Dalam kaitan UUPK, produsen
berkewajiban untuk beritikad baik dalam aktivitas produksinya (Pasal 7 butir a
UUPK). Rumusnya mengandung suatu keharusan atau kewajiban yang tidak boleh
tidak harus dilaksanakan. Dari sudut hukum perikatan, terdapat suatu unsur kewajiban
yang harus dipenuhi untuk melaksanakan suatu prestasi. Pasal 1234 KUHPerdata
menetukan, tiap-tiap perikatan bertujuan:
1. Memberikan sesuatu,
2. Berbuat sesuatu,
3. Tidak bernuat sesuatu.
Prestasi dalam tiga bentuk di
atas, merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan penyandang perjanjian.
Kewajiban melaksanakan macam-macam prestasi di atas, tidak hanya karena adanya
perikatan bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Lebih dari itu, perikatan
juga lahir dari undang-undang atau hukum (Pasal 1233 KUHPerdata). Setiap orang
yang mengalami kerugian, berhak mengajukan tuntutan kompensasi/ganti rugi
kepada pihak yang melakukan perbuatan itu. Kompensasi tersebut, menurut pasal
19 ayat 2 meliputi:
- Pengembalian sejumlah uang,
- Penggantian barang atau jasa yang sejenis atau yang setara,
- Perawatan kesehatan,
- Pemberina santunan sesuai ketentuan perundang-undangan.
b. Kewajiban Produk
Merujuk UUPK, jika suatu produk
merugikan konsumen, maka produsen bertanggung jawab untuk mengganti kerugian
yang diderita konsumen. Kewajiban itu tetap melekat pada produsen meskipun
antara pelaku dan korban tidak terdapat perserujuan terlebih dahulu.
Penjual berkewajiban menenggung
penderitaan korban berdasarkan perbuatan melawan hukum, sebagaimana ditentukan
di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Kewajiban lebih merupakan rumusan abstarak yang
melahirkan tanggung jawab sementara tanggung jawab merupakan sikap konkret.
Harus diingat pula, tidak selamanya rumusan tentang kewajiban dan tanggung
jawab secara eksplisit menggunakan kata kewajiban ataupun tanggung jawab.
Kewajiban mengenai Persyaratan Produk
Dalam UUPK aturan mengenai hak dan kewajiban konsumen dan hak
produsen selaku pelaku usaha dirumuskan dalam Bab III, butir-butir kewajiban
pelaku usaha yang tercantum dalam Pasal 7 di atas mengatur kewajiban produk
dari pelaku usaha. Sebelum UUPK berlaku, sudah dibuat beberapa ketentuan
mengenai kewajiban pelaku usaha untuk mentaati persyaratan atas produk-produk
(barang dan jasa) yang dibuatnya. Hal itu bisa kita lihat dalam UU No 2 Tahun
1966 tentang Hygiene, UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No 7 Tahun 1996
tentang Pangan atau dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
2.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat
Penjelasan tentang syarat lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat (LPKSM) tersebut, sesungguhnya telah dapat diketaui dari pengertian
yang tersebut pada pasal 9 UUPK.
Walaupun lembaga perlindungan swadaya masyarakat dikatakan sebagai
lembaga non pemerintah, tetapi bukanlah lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat yang selama ini diketahui ‘’independen’’, mengingat LPKSM yang
dimaksud dalam undang – undang ini harus didaftarkan dan mendapat pengakuan
dari pemerintah, dengan tugas yang masih harus di atur dengan peraturan
pemerintah[9].
Setelah diundangkan peraturan pemerintah No 59 tahun 2001 tentang
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, maka dalam, pasal 2
menentukan bahwa :
1. Pemerintah mengikuti LPKSM yang
memenuhi syarat, yakni terdaftar pada pemerintah kabupaten/kota dan bergerak di
bidang perklindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya.
Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai pencatatan dan bukan merupakan
perizinan. Demikian pula, bagi LPKSM yang membuka kantor perwakilan atau cabang
tersebut kepada pemerintah kabupaten/ kota setempat.
2. LPKSM sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat melakukan kegiatan perlindungan konsumen di seluruh indonesia.
3. Tata cara pendaftaran LPKSM
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diatur lebih lanjut dalam keputusan
menteri.
Demikian pula dalam penjelasan umum peraturan pemerintah No 59
tahun 2001, yang menentukan bahwa untuk menjamin ketertiban, kepastian, dan
keterbukaan dalam penyelengaraan perlindungan konsumen, maka LPKSM dipandang
perlu untuk melakukan pendaftaran pada pemerintah kabupaten/ kota
Pasal 10 peraturan pemerintah no 59 tahun 2001, menentukan bahwa :
1. Pemerintah membatalkan
pendaftaran LPKSM. Apabila LPKSM tersebut :
a. Tidak lagi menjalankan kegiatan
perlindungan konsumen
b. Terbukti melakukan kegiatan
pelangaran ketentuan undang undang No 8 tahun 1999tentang perlindungan konsumen
dan peraturan pelaksanaanya.
2. Ketentuan mengenai tata cara
pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dalam keputusan mentri[10].
Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana
ditentukan dalam pasal 44 ayat (3) huruf a UUPK yaitu, menyebar informasi dalam
rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen
dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Sedangkan dalam pasal 4 peraturan
pemerintah No 59 tahun 2001. Adapun informasi yang dimaksud misalnya hal – hal
yang berkaitan dengan pengetahuan mengenai proses prodksi, standar, label, dan
lain-lain. Sedangkan penyebaran informasi yang dilakukan LPKSM dapat dapat
dilaksanakan melalui kegiatan : pendidikan, pelatihan, penyuluhan informasi
pelayanan, dan lain-lain.
Di indonesia, gerakan perlindungan konsumen ditandai dengan
berdirinya yayasan lembaga konsumen konsumen (YLKI) pada tanggal 11 mei 1973.
YLKI ini didirikan dengan tujuan unuk
membantu konsumen indonesia agar tidak dirugikan dalam mengkonsumsi barang dan
jasa.[11]
Kehadiran lembaga konsumen, terutama YLKI, merupakan langkah maju
dalam perlindungan konsumen, karena dalam upaya mencapai tujuan YLKI melaksanakan berbagai kegiatan, yang
dilakukan melalui beberapa bidang yaitu:
a. Bidang penelitian
b. Bidang pendidikan
c. Bidang penerbitan, warta
konsumen dan perpustakaan
3.
PENYELESAIAN SENGKETA
Melalui ketentuan pasal 45 ayat (1) dapat diketahui bahwa untuk
menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat dua pilihan yaitu:
a. Melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha,
b. Melalui peradilan yang berada
di pengadilan umum.
Menjadi persoalan dengan ketentuan pasal 45 ayat 1 tersebut di
atas, adalah penunjukan ‘’lembaga yang bertugas menyelesaiakn sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha’’. Ketentuan ini kurang jelas ‘’lembaga’’
penyelesaian sengketa mana yang dimaksud. Apabila yang dimaksud adalah khusus
tertuju pada badan penyelesaian sengketa konsumen yang diatur UUPK, maka
mengapa undang-undang tidak menunjuk langsung kepada badan ini.[12]
Agar ketentuan tersebut tidak membingungkan, maka sebaiknya
disebut secara langsung bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat
pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) atau melalui
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Sehubungan dengan eksistensi BAMUI tersebut, bahwa praktek pada
PT. Bank Muamalat indonesia sendiri telah mencantumkan standar klausula
arbitrase BANUI yaitu[13] :
‘’ARBITRASE, suatu sengketa yang timbul dari dan atau dengan cara
apapun yang ada hubungannya dengan perjanjian ini yang tidak dapat diselesaikan
secara damai, kecuali sebagaimana ditetapkan di dalam perjanjian ini.
Dengan demikian, hal ini didasarkan karena kesimpulan yang diambil
dari ketentuan pasal 45 ayat 1 UUPK tersebut, bahwa sengketa ini sudah akan
menjadi kewenangan badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) yang diatur
dalam UUPK, sebagai konsekkuensinya, BPSK harus menyelesaiakan sengketa yang
terjadi berdasarkan syariat islam.[14]
Akan tetapi, upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan selain
BPSK masih tetap berlaku/ dapat dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa jika
bertolak pada pasal 45 ayat 2 dan penjelasannya, dalam pasal ini hanya disebut
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
UUPK No 8 Tahun 1999 sudah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Indonesia merdeka, melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1946,
kitab undang-undang itu lalu diadopsi secara total. Karena perkembangan
politik, adopsi undang-undang ang semula bertujuan untuk unifikasi itu, tidak
mencapai tujuannya.
4.
ASPEK-ASPEK KEPERDATAAN
Yang dimaksudkan hukum perdata
yakni dalam arti luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah
keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis
(hukum adat).
Kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia barang
dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing termuat dalam:
1) KUH Perdata, terutama dalam Buku kedua, ketiga, dan keempat,
2) KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua,
3) Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat
kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan
hukum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan
konsumen.
Beberapa hal yang dinilai
penting dalam hubungan konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa
(pelaku usaha) antara lain sebagai berikut:
1. Hal-Hal yang Berkaitan dengan Informasi
Bagi konsumen, informasi
tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia menggunakan
sumber dananya (gaji, upah, honor atau apa pun nama lainnya) untuk mengadakan
transaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hukum (jual beli,
beli-sewa, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya) tentang produk
konsumen dengan pelaku usaha itu.
Informasi dari kalangan
pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun
peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau
tindakan pemerintah pada umumnya atau tentang suatu produk konsumen. Dari sudut
penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai
suatu keharusan. Beberapa diantranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara
dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain
label dari produk makanan dalam kemasan). Sedang untuk produk hasil industri
lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang
ditetapkan oleh pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan
oleh pihak yang berwenang.
2. Beberapa Bentuk Informasi
Di antara berbagai informasi
tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang
paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan
pelaku usaha. Terutama dalam bentuk informasi pengusaha lainnya.
Iklan adalah bentuk informasi
yang umumnya bersifat sukarela, sekalipun pada akhir-akhir ini termasuk juga
yang diatur di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (pasal 9, 10,
12, 13, 17, dan pasal 20).
a. Tentang Iklan
KUHPerdata (Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata) dan/atau KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), keduanya
diumumkan pada tanggal 30 April 1847 dalam Staasblad no. 23 dengan segala
tambahan dan/atau perubahannya, tidak memberikan pengertian dan/atau memuat
kaidah-kaidah tentang periklan.
Menurut ketentuan dari UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 9 ayat (1) berbunyi:
Pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan, meng-iklankan suatu barang dan/atau jasa secara
tidak benar dan/atau seolah-olah… dan seterusnya.
Sayangnya dalam undang-undang
ini tidak dicantumkan apa yang dimaksud dengan ikaln. Yang terdapat dalam
perundang-undangan ini hanyalah berbagai larangan dan suruhan berkaitan dengan periklanan
saja. Departemen Kesehatan menetapkan sebagai “iklan adalah usaha dengan cara
apa pun untuk meningkatkan penjualan, baik secara langsung maupun tidak
langsung”.[15]
Adapun sistem penyiaran
nasional pasal 1 butir (5) merumuskan siaran iklan adalah siaran
informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya
jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau
tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. Pasal 1 butir (6) menyatakan siaran iklan niaga adalah siaran
iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan
tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa
kepada khalayak sasaran untuk memengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang
ditawarkan .
Mengenai perilaku periklanan
yang lengkap diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, adalah sebagai berikut:
1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan,
dan harga barang dan/atau tariff jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang
dan/atau jasa,
b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa,
c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai
barang dan/atau jasa,
d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau
jasa,
2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peradaran iklan yang
telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
b. Tentang Label
Informasi produk konsumen yang
bersifat wajib ini, ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Pengaturan tentang informasi yang disebut dengan berbagai istilah seperti
penandaan, label, atau etiket. Mengenai Pasal 30 ayat (2) e dalam penjelasan
Undang-Undang Pangandisebutkan bahwa keterangan halal untuk suatu produk pangan
sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama islam.
Ketentuan tersebut terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun
pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang
yang memproduksi pangan dan/atau memasukkan pengan ke dalam wilayah Indonesia
untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal
bagi umat islam.
Konsumsi daging bagi konsumen di Indonesia yang mayoritas beragama
Islam, walaupun secara ilmiah daging tersebut sehat dikonsumsi, namun konsumen
yang beragama Islam masih memebutuhkan persyaratan lain yang dapat menentramkan
hatinya. Hal ini harus diperhatikan, karena salah satu keharusan bagi importer
dan/atau pengedar daging yang berasal dari luar negeri adalah mencegah timbul
dan menjalarnya penyekit hewan yang dapat ditularkan melalui daging yang
diimpor dan/atau diedarkannya, serta ikut bertanggung jawab atas keamanan dan
ketentram batin konsumen. Untuk menjaga ketentraman batin konsumen tersebut,
maka pemasukan daging untuk konsumsi umum atau diperdagangkan harus berasal
dari ternak yang pemotongannya dilakukan menurut syariat islam dan dinyatakan
dalam sertifikat halal.[16]
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan
Kesadaran konsumen bahwa
mereka memiliki hak,kewajiban serta perlindungan hukum atas mereka harus
diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang layak atas mereka,
mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen
adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta
kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang,pelaksana
serta pengawas atas jalannya hukum dan UU tentang perlindungan konsumen
harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan
produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para produsen untuk mencari laba
berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga dengan
konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka
dirugikan karena kesalahan yang diaibatkan dari proses produksi yang tidak
sesuai dengan setandar berproduksi yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang
telah dibuat oleh pemerintah.
Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan
agar tercipta harmonisasi tujuan antara produsen yang ingin memperoleh laba
tanpa membahayakan konsumen yang ingin memiliki kepuasan maksimum,
Agar
ketentuan tersebut tidak membingungkan, maka sebaiknya disebut secara langsung
bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui badan
penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) atau melalui pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum.
2. Saran
A. Perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia, walaupun telah
mengalami kemajuan, terutama setelah lahirnya UUPK, namun masih perlu adanya
langkah peningkatan, terutama aspek-aspek yang diatur secara tegas dalam UUPK,
sehingga akan semakin mendekati berbagai perinsip yang memberikan perlindungan
konsumen di Negara maju.
B. Demikian pula kekurangan-kekurangan dalam UUPK agar segera
direvisi, dengan tetap mengacu pada tiga prinsip perlindungan hukum bagi
konsumen di Indonesia, serta melengkapi peraturan-peraturan pelaksanaan dari
UUPK, agar konsumen betul-betul dapat menikmati perlindungan hukum sebagaimana
yang diharapkan.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Buku
Kristiyanti, Cellina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta. 2009
Miru, Ahmadi. Prinsip-prinsip Perlindungan
Bagi Konsumen Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta. 2011
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen Dan Tanggung Jawab Produk, Penerbit Panta Rei, Jakarta. 2005
Miru, Ahmadi,Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali pers,
jakarta 2004,
Abdul
rahman saleh, catatan tentang arbitrase muamalat indonesia,jakarta, tanggal 23
april 1994,
B. Perundang-undangan
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
UUPK No.8 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2
Peraturan Menteri Kesehatan No. 329 Tahun 1976
pasal 1 butir 13
Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran
Undang-Undang Pangan adalah Undang-Undang
nomor 7 tahun 1996
peraturan pemerintah No 59 tahun 2001
C. Jurnal
http// makalah tentang perlindungan konsumen,
[1]
Celina Tri Siwi Kristiyanti, SH, M.Hum, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,
hlm 22
[2]
Yayasan
Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran
tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Yayasan lembaga
Konsumen, 1981, hlm 2.
[3]
Prof.
Dr. Ahmadi Miru, SH, MH, Prinsip-Prinsip
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm 20
[5]
Pasal
1 ayat 3 UUPK.
[6]
UU
LPM PUTS
[7]
N.H.T.
Siahaan, Hukum
Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm 100
[8]
Prof.
Dr. Ahmadi Miru SH, MH., Prinsip-Prinsip
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakrta, 2011) hal 77
[9]
Santoso, undang-undang perlindungan konsumen masih banyak bolongnya’’, media
indonesia, tanggal 7 juli 1999 hal 68
[11]
C. Tantri D. dan sulastri, gerakan organisasi konsumen, seri panduan YLKI,
jakarta, 1995,hal 9-10
[13]
Abdul rahman saleh, catatan tentang arbitrase muamalat indonesia, tanggal 23
april 1994, hal 15
[14]
Dr.
Ahmadi Miru, SH, MH,ibid,hal 226
[16]
Undang-undang
No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar