Sabtu, 17 Mei 2014

hukum perlindungan konsumen


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen pada posisi yang lemah. Kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen.

Perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara para pihak tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam arti masing-masing pihak puas, karena kadang-kadang pihak penerima tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan harapannya. Wanprestasi salah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat yang tercantum dalam perjanjian. Disamping wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi di luar hubungan perjanjian, yaitu jika perbuatan melanggar hukum, yang dapat berupa adanya cacat pada barang atau jasa yang mengakibatkan kerugian pada konsumen, baik itu karena rusaknya atau musnahnya barang itu sendiri, maupun kerusakan atau musnahnya barang akibat cacat pada barang itu.
Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-masing ada hak dan kewajiban Pemerintah berperan mangatur, mengawasi, dan mengontrol, sehingga tercipta sistem yang kondusif berkaitan satu dengan yang lain dengan demikian tujuan menyejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.
Di Indonesia, gerakan perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika Serikat. YLKI yang secara populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini termasuk cukup responsive terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen.
Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, di mana ekonomi Indonesia juga telah berkait dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat membawa implikasi negative bagi perlindungan konsumen.
Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk ekspor-impor dan penanaman modal. Kini transaksi menjadi beraneka ragam dan rumit, seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal beli, turnkey project, alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas finansial, dan lain-lain.

B. RUMUSAN MASALAH
            1.  Pengertian aspek product liability ?
            2. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat ?
            3. Penyelesaian sengketa ?
 C. MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun tujuan dalam makalah ini adalah :
            1. Utuk mengetahui Pengertian aspek product liability
            2. Untuk mengetahui Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
            3. untuk mengetahui Penyelesaian sengketa

1.      Manfaat Teoritis
a.       Dapat menambah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum bisnis khususnya tentang perlindungan konsumen.
b.      Dapat memberikan masukan dalam bidang hukum bisnis kepada masyarakat, pemerintah dan aparat penegak hukum tentang perlindungan konsumen.
2.      Manfaat Praktis
Dapat dijadikan pedoman dan bahan rujukan bagi peneliti lain, masyarakat ataupun pihak lainnya yang juga membahas tentang perlindungan konsumen.





BAB II  TINJAUAN PUSTAKA
      Tinjauan Pustaka
         Konsumen
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang[1].
Pengertian konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu[2]
“ Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.”
Sedangkan konsumen menurut naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan[3].
Sebagai akhir dari usaha pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah dengan lahirnya UUPK, yang di dalamnya dikemukakan pengertian konsumen, sebagai berikut:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan[4].”
         Produsen
Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam bahasa inggris, producer yang artinya adalah penghasil. Pengertian yang luas mengenai produsen terdapat dalam UUPK, namun istilah produsen sebagai lawan dari isrilah konsumen, melainkan pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha dalam UUPK adalah sebagai berikut:
“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik  yang berbentuk bdan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi[5].”
Sementara Pasal 1 butir 5 memberikan batasan yang hampir tidak ada perbedaan berarti dari pengertian yang dikandung UUPK. Adapun pengertian tersebut dapat dilihat seperti berikut:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”
Pasal 3 ayat (2) Directive menyebutkan bahwa: siapa pun yang mengimpor suatu produk ke lingkungan  adalah produsen. Ketentuan ini sengaja dicantumkan untuk melindungi konsumen dari kemungkinan harus menggugat produsen asing (yang pusat kegiatannya) di luar lingkungan[6].



BAB III PENJELASAN
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Product Liability
Istilah dan defenisi product liability di kalangan para pakar dan sejumlah peraturan diartikan secara berbeda-beda. Product liability sering diistilahkan dengan tanggung gugat produk, tanggung jawab produk, atau tanggung jawab produsen. Mengenai pengertiannya, para pakar memberikan penekanan dan lingkup yang bervariasi sebagaimana dapat dilihat dalam berbagai definisi di bawah ini.
 definisi product liability sebagai berikut: tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai (konsumen) atau keamanan produk.
 sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peradaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.  Dalam  produk sebagai barang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak[7].
 memperluas cakupan dari yang disebut dengan pengertiannya sebagai berikut:
“product liability adalah tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.”
Tujuan  utama dari dunia hukum memperkenalkan product liabilityadalah:

a.       Memberikan perlindungan kepada konsumen
b.      Agar terdapat pembebanan risiko yang adil antara produsen dan konsumen.
  Dari Kewajiban kepada Tanggungjawab
a.       Kewajiban karena UU
Berbicara tentang tanggung jawab pelaku usaha, maka terlabih dahulu harus dibicarakan mengenai kewajibannya. Dari kewajiban (duty, obligation) akan lahir tanggung jawab. Tanggung jawab timbul karena seseorang atau suatu pihak mempunyai suatu kewajiban, termasuk kewajiban karena undang-undang dan hukum[8].
Dalam kaitan UUPK, produsen berkewajiban untuk beritikad baik dalam aktivitas produksinya (Pasal 7 butir a UUPK). Rumusnya mengandung suatu keharusan atau kewajiban yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan. Dari sudut hukum perikatan, terdapat suatu unsur kewajiban yang harus dipenuhi untuk melaksanakan suatu prestasi. Pasal 1234 KUHPerdata menetukan, tiap-tiap perikatan bertujuan:
1.      Memberikan sesuatu,
2.      Berbuat sesuatu,
3.      Tidak bernuat sesuatu.
Prestasi dalam tiga bentuk di atas, merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan penyandang perjanjian. Kewajiban melaksanakan macam-macam prestasi di atas, tidak hanya karena adanya perikatan bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Lebih dari itu, perikatan juga lahir dari undang-undang atau hukum (Pasal 1233 KUHPerdata). Setiap orang yang mengalami kerugian, berhak mengajukan tuntutan kompensasi/ganti rugi kepada pihak yang melakukan perbuatan itu. Kompensasi tersebut, menurut pasal 19 ayat 2 meliputi:
-          Pengembalian sejumlah uang,
-          Penggantian barang atau jasa yang sejenis atau yang setara,
-          Perawatan kesehatan,
-          Pemberina santunan sesuai ketentuan perundang-undangan.
b.      Kewajiban Produk
Merujuk UUPK, jika suatu produk merugikan konsumen, maka produsen bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang diderita konsumen. Kewajiban itu tetap melekat pada produsen meskipun antara pelaku dan korban tidak terdapat perserujuan terlebih dahulu.
Penjual berkewajiban menenggung penderitaan korban berdasarkan perbuatan melawan hukum, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Kewajiban lebih merupakan rumusan abstarak yang melahirkan tanggung jawab sementara tanggung jawab merupakan sikap konkret. Harus diingat pula, tidak selamanya rumusan tentang kewajiban dan tanggung jawab secara eksplisit menggunakan kata kewajiban ataupun tanggung jawab.
  Kewajiban mengenai Persyaratan Produk
Dalam UUPK aturan mengenai hak dan kewajiban konsumen dan hak produsen selaku pelaku usaha dirumuskan dalam Bab III, butir-butir kewajiban pelaku usaha yang tercantum dalam Pasal 7 di atas mengatur kewajiban produk dari pelaku usaha. Sebelum UUPK berlaku, sudah dibuat beberapa ketentuan mengenai kewajiban pelaku usaha untuk mentaati persyaratan atas produk-produk (barang dan jasa) yang dibuatnya. Hal itu bisa kita lihat dalam UU No 2 Tahun 1966 tentang Hygiene, UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan atau dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

2.      Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Penjelasan tentang syarat lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) tersebut, sesungguhnya telah dapat diketaui dari pengertian yang tersebut pada pasal 9 UUPK.
Walaupun lembaga perlindungan swadaya masyarakat dikatakan sebagai lembaga non pemerintah, tetapi bukanlah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang selama ini diketahui ‘’independen’’, mengingat LPKSM yang dimaksud dalam undang – undang ini harus didaftarkan dan mendapat pengakuan dari pemerintah, dengan tugas yang masih harus di atur dengan peraturan pemerintah[9].
Setelah diundangkan peraturan pemerintah No 59 tahun 2001 tentang lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, maka dalam, pasal 2 menentukan bahwa :
1.      Pemerintah mengikuti LPKSM yang memenuhi syarat, yakni terdaftar pada pemerintah kabupaten/kota dan bergerak di bidang perklindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya. Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai pencatatan dan bukan merupakan perizinan. Demikian pula, bagi LPKSM yang membuka kantor perwakilan atau cabang tersebut kepada pemerintah kabupaten/ kota setempat.
2.      LPKSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat melakukan kegiatan perlindungan konsumen di  seluruh indonesia.
3.      Tata cara pendaftaran LPKSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri.
Demikian pula dalam penjelasan umum peraturan pemerintah No 59 tahun 2001, yang menentukan bahwa untuk menjamin ketertiban, kepastian, dan keterbukaan dalam penyelengaraan perlindungan konsumen, maka LPKSM dipandang perlu untuk melakukan pendaftaran pada pemerintah kabupaten/ kota
Pasal 10 peraturan pemerintah no 59 tahun 2001, menentukan bahwa :
1.      Pemerintah membatalkan pendaftaran LPKSM. Apabila LPKSM tersebut :
a.       Tidak lagi menjalankan kegiatan perlindungan konsumen
b.      Terbukti melakukan kegiatan pelangaran ketentuan undang undang No 8 tahun 1999tentang perlindungan konsumen dan peraturan pelaksanaanya.
2.      Ketentuan mengenai tata cara pembatalan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam keputusan mentri[10].

Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana ditentukan dalam pasal 44 ayat (3) huruf a UUPK yaitu, menyebar informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Sedangkan dalam pasal 4 peraturan pemerintah No 59 tahun 2001. Adapun informasi yang dimaksud misalnya hal – hal yang berkaitan dengan pengetahuan mengenai proses prodksi, standar, label, dan lain-lain. Sedangkan penyebaran informasi yang dilakukan LPKSM dapat dapat dilaksanakan melalui kegiatan : pendidikan, pelatihan, penyuluhan informasi pelayanan, dan lain-lain.
Di indonesia, gerakan perlindungan konsumen ditandai dengan berdirinya yayasan lembaga konsumen konsumen (YLKI) pada tanggal 11 mei 1973. YLKI ini didirikan dengan tujuan  unuk membantu konsumen indonesia agar tidak dirugikan dalam mengkonsumsi barang dan jasa.[11]
Kehadiran lembaga konsumen, terutama YLKI, merupakan langkah maju dalam perlindungan konsumen, karena dalam upaya mencapai tujuan YLKI  melaksanakan berbagai kegiatan, yang dilakukan melalui beberapa bidang yaitu:
a.       Bidang penelitian
b.      Bidang pendidikan
c.       Bidang penerbitan, warta konsumen dan perpustakaan

3.      PENYELESAIAN SENGKETA
Melalui ketentuan pasal 45 ayat (1) dapat diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat dua pilihan yaitu:
a.       Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha,
b.      Melalui peradilan yang berada di pengadilan umum.
Menjadi persoalan dengan ketentuan pasal 45 ayat 1 tersebut di atas, adalah penunjukan ‘’lembaga yang bertugas menyelesaiakn sengketa antara konsumen dan pelaku usaha’’. Ketentuan ini kurang jelas ‘’lembaga’’ penyelesaian sengketa mana yang dimaksud. Apabila yang dimaksud adalah khusus tertuju pada badan penyelesaian sengketa konsumen yang diatur UUPK, maka mengapa undang-undang tidak menunjuk langsung kepada badan ini.[12] 
Agar ketentuan tersebut tidak membingungkan, maka sebaiknya disebut secara langsung bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) atau melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Sehubungan dengan eksistensi BAMUI tersebut, bahwa praktek pada PT. Bank Muamalat indonesia sendiri telah mencantumkan standar klausula arbitrase BANUI yaitu[13] : 
‘’ARBITRASE, suatu sengketa yang timbul dari dan atau dengan cara apapun yang ada hubungannya dengan perjanjian ini yang tidak dapat diselesaikan secara damai, kecuali sebagaimana ditetapkan di dalam perjanjian ini.
Dengan demikian, hal ini didasarkan karena kesimpulan yang diambil dari ketentuan pasal 45 ayat 1 UUPK tersebut, bahwa sengketa ini sudah akan menjadi kewenangan badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) yang diatur dalam UUPK, sebagai konsekkuensinya, BPSK harus menyelesaiakan sengketa yang terjadi berdasarkan syariat islam.[14]

Akan tetapi, upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan selain BPSK masih tetap berlaku/ dapat dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa jika bertolak pada pasal 45 ayat 2 dan penjelasannya, dalam pasal ini hanya disebut penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
UUPK No 8 Tahun 1999 sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Indonesia merdeka, melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, kitab undang-undang itu lalu diadopsi secara total. Karena perkembangan politik, adopsi undang-undang ang semula bertujuan untuk unifikasi itu, tidak mencapai tujuannya.
4.      ASPEK-ASPEK KEPERDATAAN
 Yang dimaksudkan hukum perdata yakni dalam arti luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing termuat dalam:
1)      KUH Perdata, terutama dalam Buku kedua, ketiga, dan keempat,
2)      KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua,
3)      Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.
Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara lain sebagai berikut:
1.      Hal-Hal yang Berkaitan dengan Informasi
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor atau apa pun nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hukum (jual beli, beli-sewa, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya) tentang produk konsumen dengan pelaku usaha itu.
Informasi dari kalangan pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan pemerintah pada umumnya atau tentang suatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa diantranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan). Sedang untuk produk hasil industri lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
2.      Beberapa Bentuk Informasi
Di antara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk informasi pengusaha lainnya.
Iklan adalah bentuk informasi yang umumnya bersifat sukarela, sekalipun pada akhir-akhir ini termasuk juga yang diatur di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (pasal 9, 10, 12, 13, 17, dan pasal 20).




a.       Tentang Iklan
KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan/atau KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), keduanya diumumkan pada tanggal 30 April 1847 dalam Staasblad no. 23 dengan segala tambahan dan/atau perubahannya, tidak memberikan pengertian dan/atau memuat kaidah-kaidah tentang periklan.
Menurut ketentuan dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 9 ayat (1) berbunyi:
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, meng-iklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah… dan seterusnya.
Sayangnya dalam undang-undang ini tidak dicantumkan apa yang dimaksud dengan ikaln. Yang terdapat dalam perundang-undangan ini hanyalah berbagai larangan dan suruhan berkaitan dengan periklanan saja. Departemen Kesehatan menetapkan sebagai “iklan adalah usaha dengan cara apa pun untuk meningkatkan penjualan, baik secara langsung maupun tidak langsung”.[15]
Adapun sistem penyiaran nasional pasal 1 butir (5) merumuskan siaran iklan adalah  siaran  informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. Pasal 1 butir (6) menyatakan siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk memengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan .
Mengenai perilaku periklanan yang lengkap diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adalah sebagai berikut:
1)      Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a.       Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang dan/atau tariff jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa,
b.      Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa,
c.       Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa,
d.      Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa,
2)      Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peradaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
b.      Tentang Label
Informasi produk konsumen yang bersifat wajib ini, ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pengaturan tentang informasi yang disebut dengan berbagai istilah seperti penandaan, label, atau etiket. Mengenai Pasal 30 ayat (2) e dalam penjelasan Undang-Undang Pangandisebutkan bahwa keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama islam. Ketentuan tersebut terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan/atau memasukkan pengan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat islam.
Konsumsi daging bagi konsumen di Indonesia yang mayoritas beragama Islam, walaupun secara ilmiah daging tersebut sehat dikonsumsi, namun konsumen yang beragama Islam masih memebutuhkan persyaratan lain yang dapat menentramkan hatinya. Hal ini harus diperhatikan, karena salah satu keharusan bagi importer dan/atau pengedar daging yang berasal dari luar negeri adalah mencegah timbul dan menjalarnya penyekit hewan yang dapat ditularkan melalui daging yang diimpor dan/atau diedarkannya, serta ikut bertanggung jawab atas keamanan dan ketentram batin konsumen. Untuk menjaga ketentraman batin konsumen tersebut, maka pemasukan daging untuk konsumsi umum atau diperdagangkan harus berasal dari ternak yang pemotongannya dilakukan menurut syariat islam dan dinyatakan dalam sertifikat halal.[16]







BAB IV PENUTUP
1.      Kesimpulan
Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak,kewajiban serta perlindungan hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang layak atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta  pengawas atas jalannya hukum dan UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para produsen untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang diaibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah.
Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan agar tercipta harmonisasi tujuan antara produsen yang ingin memperoleh laba tanpa membahayakan konsumen yang ingin memiliki kepuasan maksimum,
Agar ketentuan tersebut tidak membingungkan, maka sebaiknya disebut secara langsung bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) atau melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

2.      Saran
A.    Perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia, walaupun telah mengalami kemajuan, terutama setelah lahirnya UUPK, namun masih perlu adanya langkah peningkatan, terutama aspek-aspek yang diatur secara tegas dalam UUPK, sehingga akan semakin mendekati berbagai perinsip yang memberikan perlindungan konsumen di Negara maju.
B.     Demikian pula kekurangan-kekurangan dalam UUPK agar segera direvisi, dengan tetap mengacu pada tiga prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia, serta melengkapi peraturan-peraturan pelaksanaan dari UUPK, agar konsumen betul-betul dapat menikmati perlindungan hukum sebagaimana yang diharapkan.

























DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku
Kristiyanti, Cellina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta. 2009
Miru, Ahmadi. Prinsip-prinsip Perlindungan Bagi Konsumen Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2011
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen Dan Tanggung Jawab Produk, Penerbit Panta Rei, Jakarta. 2005
Miru, Ahmadi,Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali pers, jakarta 2004,
Abdul rahman saleh, catatan tentang arbitrase muamalat indonesia,jakarta, tanggal 23 april 1994,
B.     Perundang-undangan
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
UUPK No.8 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2
Peraturan Menteri Kesehatan No. 329 Tahun 1976 pasal 1 butir 13
Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Undang-Undang Pangan adalah Undang-Undang nomor 7 tahun 1996
peraturan pemerintah No 59 tahun 2001
C.     Jurnal
http// makalah tentang perlindungan konsumen,


[1]  Celina Tri Siwi Kristiyanti, SH, M.Hum, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 22
[2] Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Yayasan lembaga Konsumen, 1981, hlm 2.
[3] Prof. Dr. Ahmadi Miru, SH, MH, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm 20
[4]  UUPK No.8 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2.
[5] Pasal 1 ayat 3 UUPK.
[6] UU LPM PUTS
[7] N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm 100
[8] Prof. Dr. Ahmadi Miru SH, MH., Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakrta, 2011) hal 77
[9] Santoso, undang-undang perlindungan konsumen masih banyak bolongnya’’, media indonesia, tanggal 7 juli 1999 hal 68
[10] Dr. Ahmadi Miru, SH, MH, Hukumperlindungan  Konsumen ,  Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm 216
[11] C. Tantri D. dan sulastri, gerakan organisasi konsumen, seri panduan YLKI, jakarta, 1995,hal 9-10
[12] Dr. Ahmadi Miru, SH, MH, Hukumperlindungan  Konsumen ,  Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm 224
[13] Abdul rahman saleh, catatan tentang arbitrase muamalat indonesia, tanggal 23 april 1994, hal 15
[14] Dr. Ahmadi Miru, SH, MH,ibid,hal 226
[15]  Peraturan Menteri Kesehatan No. 329 Tahun 1976 pasal 1 butir 13
[16] Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar